Urung

Ada yang sedang dipikirkan;
ada yang tengah dirasakan;
ada yang ingin diungkapkan
–setidaknya pada sebait tulisan.
Namun, tiba-tiba satu persatu kata mulai menghilang.
Bersembunyi, enggan diuraikan.
Dan menyisakan genangan.

Ironi [2]

Akhir-akhir ini, aku semakin sering mendengar orang-orang berkata bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak hal yang membuatnya merana, ada berbagai macam peristiwa yang menyebabkan lara di masanya yang semakin renta. Namun, tidakkah sebaiknya kita melihat terlebih dahulu ke dalam masing-masing diri kita? Apakah kita dalam keadaan baik-baik saja? Jika iya, maka bukankah dunia pun akan demikian adanya?

Terkenang

Aku masih saja merindui dinginnya udara fajar yang menyelisik di setiap sudut gang kecil itu, yang dengan perlahan merasuk ke dalam rongga dadaku, menghidupkan kembali ruh yang sejenak terlelap dari tubuh. Sesekali diiringi oleh gerimis yang menyenandungkan rintik-rintik teduh hingga menciptakan atmosfer yang begitu damai di penghujung subuh.

Aku masih merindukan suasana pagi yang seringkali membanggakan diri dengan aroma kabut. Namun hawa sejuknya tak dapat lagi membujuk tubuh ini untuk kembali bernaung di balik selimut, sebab harumnya nasi uduk di warung tenda depan gang lebih menggoda untuk dipinang sebagai pengganjal perut. Apalagi, kepulan uap dari bungkusan kecilnya itu kembali menghangatkan telapak tangan yang berkerut.

Aku merindukan suasana sepanjang jalan yang penuh dengan orang-orang berlalu lalang –yang terkadang sampai menimbulkan kemacetan. Bunyi klakson kendaraan yang bersimpangan; suara pedagang yang saling bersahutan; candaan sekelompok kawan dalam perjalanan pulang; alunan adzan yang berkumandang; hingga lantunan dzikir dalam lirih setiap lisan pun turut menyeruak dan memecah keheningan dalam hati setiap orang. Meski sesekali terlihat lengang, namun sebenarnya tak pernah luput dari ingar bingar.

Dan aku pun masih merindukan suara gerobak dorong bersama dentuman piringnya yang saling bercengkrama mengusik hening malam. Ayunan langkah kaki yang menyusul di belakangnya terdengar kian melamban seiring jalan. Pikirku, seperti inikah kehidupan malam di sebuah gang yang terhimpit dinding-dinding persinggahan? Langit gelap yang semestinya membuat kedua mata terlelap justru ditebus dengan langkah kaki yang mulai berat di pekatnya malam –ketika angka dua hampir tersentuh oleh jarum pendek jam. Selarut inikah mereka kembali ke peraduan?

Aku begitu merindukan segala peristiwa yang pernah menjadi bagian dalam episode kehidupanku di sebuah sudut kota. Meskipun kini telah menjelma kenangan yang mengendap indah dalam ingatan, namun setiap perasaan yang ditimbulkan oleh hening dan bisingnya, hawa panas dan teduhnya, udara hangat dan dinginnya, langit biru dan kelabunya, dini hari hingga larutnya, telah membuatku bergelut dengan rasa rindu yang berkepanjangan.

Rasa Penat yang Terkerat

Menempuh penatnya perjalanan pulang di waktu petang seringkali mendatangkan rasa keharuan. Sebab pada kesempatan seperti itu, aku semakin tau betapa banyaknya wajah-wajah lelah yang sedang berlalu lalang dalam perjalanan kembali ke tempat persinggahan. Tak jarang ku menerka: tadi, sepagi apa mereka bergegas? Apakah sepertiku yang seringkali bergelut dengan gelapnya kabut? Atau, saat mentari telah membuat bulir-bulirnya menyurut?

Di sepanjang jalan menuju pulang, terkadang justru ku temukan seorang anak yang menjinjing tas penuh gorengan di persimpangan, berusaha menawarkan pada siapapun yang melintas di sekitar. Atau barangkali di sudut tikungan jalan, tampak penjual baso tusuk yang baru saja datang untuk menjemput rizkinya di bawah naungan langit malam. Berkali-kali juga sempat ku jumpai penjual buah potong yang sedang memakan sisa dagangannya di bahu jalan –yang bahkan terkadang gerobaknya masih cukup penuh dengan yang utuh. Dan tak jarang ku dapati penjual batagor dengan langkah ringannya mendorong gerobak di tengah hujan.

Semuanya kembali menyadarkan –juga semakin mengingatkan, betapa rasa lelah menghampiri setiap orang, betapa rasa penat tak hanya ku rasakan sendirian. Di antara orang-orang yang ku temui, pasti ada yang jauh lebih jenuh, namun tak pernah mengeluh, dan mungkin mereka jauh lebih penat, namun tetap semangat. Lalu, hatiku pun menghangat. Betapa sederhananya cara Allaah membuat rasa penat ini terkerat, lewat mereka yang hari-harinya pun tak kalah berat.

Ingin ku sampaikan terima kasih kepada anak kecil penjual gorengan di persimpangan, kepada bapak penjual baso tusuk di sudut tikungan, kepada bapak penjual buah potong di bahu jalan, hingga mamang penjual batagor yang selalu melangkahkan kakinya dengan ringan –yang tanpa mereka sadari telah menjadi pengingat bagiku untuk bersyukur lebih dalam.

Gambar hanya pemanis

by A Patsanan KS Chai on Pexels.com

Tampak

Diam-diam, sering ku bubuhkan kebahagiaan; ku sematkan keharuan; dan ku titipkan kesenangan; pada setiap kata yang ku guratkan. Diam-diam, sering ku selipkan kemarahan; ku sisipkan kekesalan; ku tautkan kekecewaan –hingga kepedihan, dalam bait-bait yang ku suratkan. Inginku membuatnya samar, namun kenyataannya cukup sukar. Sepertinya sulit, memang, sebab tulisan-tulisan di sini seringkali terlahir usai negosiasi yang cukup panjang antara pikiran dan perasaan. Hingga, segalanya pun tercurahkan…

Maukah?

Entah itu pertemuan maupun perpisahan, dalam keduanya, pasti akan selalu terselip makna indah penuh kebaikan. Untuk memberi atau mendapatkan; untuk belajar maupun mengajarkan; untuk direlakan dan mengikhlaskan, yang seluruhnya akan menjadi bagian teramat berharga dalam proses pendewasaan.

Apa yang akan dan telah Ia tetapkan, memang selalu tak terduga. Suguhannya berupa-rupa peristiwa yang tak terjangkau oleh logika. Ku rasa, itulah salah satu hal yang membuatNya begitu mengagumkan dan tak perlu lagi diragukan. Namun pertanyaannya, pada setiap baik buruknya suatu peristiwa, maukah kita memetik hikmah untuk kemudian merenungkan segenggam makna yang ada di dalamnya?

Menentukan Peran

Setiap diri kita, adalah pemeran utama dari sebuah cerita. Namun, ketertarikan berlebih akan kisah orang lain tanpa sadar membuat diri kita mulai abai terhadap kisah yang kita punya. Tak heran jika setelahnya hanya tersisa kerendahan diri ketika alur yang kita lalui terlihat tak semenarik jalan cerita mereka.

Lalu, ketidakpercayaan akan diri sendiri mulai tereduksi, yang pada akhirnya mengerucut pada satu kata: insecurity. Setiap hari, yang kita lakukan hanya menjadi pemerhati, dan merasa bahwa diri kita minim arti.

Latas, bagaimana lagi?

Terkadang, justru kita sendirilah yang memutuskan untuk menjadi figuran. Padahal kita juga bisa melahirkan kisah yang tak kalah mengagumkan.

Barangkali kita bisa memulai kembali kisah itu dengan bersyukur terlebih dahulu (?)