Bagi Dirinya yang Tak Mudah Jatuh Cinta

Bagi dirinya yang tak mudah jatuh cinta, sekalinya terjatuh mungkin terasa cukup sulit untuk bangkit lagi, karena begitu indahnya perasaan yang tumbuh di dalam hati —seindah bunga-bunga yang terlalu sayang untuk dibiarkan mati. Tetapi, akankah bunga-bunga itu juga merekah di taman yang ia dambakan, atau hanya bermekaran di halamannya seorang?

Bagi dirinya yang tak mudah jatuh cinta, menyaksikan kuncup kecil yang mulai merekah layaknya menyambut kehidupan baru dengan penuh harapan. Meskipun hanya setangkai yang berkembang, kehadirannya tetap saja tampak begitu menawan. Namun, bila sekuntum bunga masih mampu bertahan hidup dalam kesunyian, perasaan tidaklah demikian. Rasanya cukup rentan saat membiarkannya tumbuh tanpa kawan, sebab semakin berkembang, semakin sulit untuk dirawat —apalagi jika harus merawatnya sendirian.

Bagi dirinya yang tak mudah jatuh cinta, gelagat kelopak-kelopak yang siap berkembang bahkan tampak semakin indah dari sudut pandangnya yang dipenuhi spektrum merah muda. Kesan yang ditangkap oleh matanya mejelma getar-getar kerisauan di kala meredam rasa. Meski terbias kebimbangan, namun ternyata meramu sebuah kisah yang jelita –yang nyaris membuat debarnya kian merona. Jika memang seindah itu warna yang terbias dari indranya, lantas, akankah sudut pandang orang lain pun menampakkan hal serupa?

Bagi dirinya yang tak mudah jatuh cinta, rasanya tak adil membiarkan bunga-bunga yang didambakannya layu sebelum benar-benar mekar sempurna, rasanya tak rela membiarkan angin kencang membuatnya terlepas dari tangkai hingga membawanya terbang jauh dalam hembusan arah ketidakpastian, sementara telah dihabiskannya waktu cukup panjang untuk menunggu tunas-tunas itu tumbuh di halaman rumahnya yang semula begitu gersang.

Bagi dirinya yang tak mudah jatuh cinta,
lantas apa yang seharusnya dilakukan sebelum bunga-bunga itu mulai bermekaran?

Photo by Irina Iriser on Pexels.com

Urung

Ada yang sedang dipikirkan;
ada yang tengah dirasakan;
ada yang ingin diungkapkan
–setidaknya pada sebait tulisan.
Namun, tiba-tiba satu persatu kata mulai menghilang.
Bersembunyi, enggan diuraikan.
Dan menyisakan genangan.

Rancu

Di sepanjang perjalanan hidup ini, mungkin ada banyak hal yang selalu kita harapkan namun tak bisa dimiliki, yang pernah kita minta untuk kembali namun lebih memilih pergi, yang masih kita rindukan namun tak kunjung datang, yang tetap saja kita inginkan meski tak bisa didapatkan. Lalu, kita kembali merasa terperangkap dalam ketidakbahagiaan karena sulitnya mengikhlaskan segala hal yang kita inginkan namun tak tergapai dalam genggaman.

Kalau kita mau mengingat-ingat lagi, sebenarnya jalan keluar atas terperangkapnya diri kita dalam kontradiksi ini sederhana sekali: mempertemukan rasa ikhlas dengan hati. Selesai. Tetapi, sebagaimana yang sudah kita ketahui, sebagaimana yang sebelum-sebelumnya pernah kita alami, jalan ini memang cukup sulit untuk dilalui. Ketidakselarasan antara kehendak dengan keadaan yang terjadi seolah menjadi jalur yang begitu terjal untuk dilewati karena kita terlanjur kehabisan daya dan tenaga yang disebabkan oleh rancunya perasaan dalam diri.

Tetapi, di tengah rumitnya keadaan ini, bagaimana jika kita berhenti sejenak dan mencari tempat singgah sementara untuk merenungkan segala peristiwa dengan sedetail-detailnya? Di saat kita mengambil jeda, di saat kita benar-benar mau membuka mata untuk menelusuri kembali setiap jengkal nikmat yang Allaah berikan dan bersyukur atasnya, maka insyaa Allaah kita akan memahami betapa Maha Adilnya Ia. Barangkali kita pun baru akan menyadari bahwa justru diri kitalah yang seringkali bersikap sebaliknya. Di saat Allaah telah memenuhkan segala kebutuhan kita, namun kitalah yang seringkali luput untuk mensyukurinya.

Adilkah?

Semoga, setiap terjalnya perjalanan ini bukan menjadi titik dari keputusasaan, namun menjadi bagian dari proses pendewasaan dan kebijaksanaan.

Photo by Syed Hasan Mehdi on Pexels.com

Memerangi Diri

Aku tau besarnya perjuangan yang kau lakukan setiap hari untuk mengalahkan kesulitan-kesulitan yang kau alami, dan aku mengerti bagaimana hatimu selalu mengandalkan-Nya dalam setiap urusan yang kau miliki. Meskipun sesekali merasa kebingungan, meskipun seringkali terusik oleh kebimbangan, tetapi lihatlah kembali bagaimana Allaah selalu menunjukkan kepadamu jalan untuk menuntaskan amanah yang harus dikerjakan. Walaupun selepasnya tak ada jaminan bahwa upayamu akan melahirkan hasil yang sesuai dengan keinginan, namun bagimu tak ada alasan untuk tidak berjuang.

Bukan hal mudah memang, untuk selalu berprasangka baik terhadap-Nya ketika ternyata hasil yang didapatkan tak sejalan dengan harapan. Terkadang kekecewaan tak bisa lagi terhindarkan, bahkan mungkin hingga berujung pada kemarahan, bermuara dalam kekecewaan. Namun lihatlah sekali lagi, bagaimana dirimu selalu berjuang untuk mengembalikan hatimu dalam genggaman-Nya, mengembalikan rasa percayamu kepada-Nya, membangun lagi prasangka baik terhadap-Nya, dan kembali menaruh harapan dalam kuasa-Nya. Ini sama sekali bukan hal yang mudah dilakukan saat melemahnya iman. Maka, bersyukurlah ketika Ia masih menyematkan keyakinan itu dalam relung hatimu.

Aku percaya, Dia membuatmu kehilangan harapan agar lebih bersyukur atas nikmat yang kau miliki, membuatmu kecewa agar tidak terus menerus hanya berpuas diri, membuatmu bersedih agar menghargai hari-hari bahagia yang kau lewati, membuatmu marah untuk mengajarkan lagi makna kesabaran di dalam hati. Dia tak akan membiarkanmu tersesat dalam sebuah ilusi kegagalan dalam diri, namun akan membuatmu tumbuh menjadi pribadi yang lebih menghargai setiap proses yang dilalui.

Insyaa Allaah.

Ironi [2]

Akhir-akhir ini, aku semakin sering mendengar orang-orang berkata bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak hal yang membuatnya merana, ada berbagai macam peristiwa yang menyebabkan lara di masanya yang semakin renta. Namun, tidakkah sebaiknya kita melihat terlebih dahulu ke dalam masing-masing diri kita? Apakah kita dalam keadaan baik-baik saja? Jika iya, maka bukankah dunia pun akan demikian adanya?

Terkenang

Aku masih saja merindui dinginnya udara fajar yang menyelisik di setiap sudut gang kecil itu, yang dengan perlahan merasuk ke dalam rongga dadaku, menghidupkan kembali ruh yang sejenak terlelap dari tubuh. Sesekali diiringi oleh gerimis yang menyenandungkan rintik-rintik teduh hingga menciptakan atmosfer yang begitu damai di penghujung subuh.

Aku masih merindukan suasana pagi yang seringkali membanggakan diri dengan aroma kabut. Namun hawa sejuknya tak dapat lagi membujuk tubuh ini untuk kembali bernaung di balik selimut, sebab harumnya nasi uduk di warung tenda depan gang lebih menggoda untuk dipinang sebagai pengganjal perut. Apalagi, kepulan uap dari bungkusan kecilnya itu kembali menghangatkan telapak tangan yang berkerut.

Aku merindukan suasana sepanjang jalan yang penuh dengan orang-orang berlalu lalang –yang terkadang sampai menimbulkan kemacetan. Bunyi klakson kendaraan yang bersimpangan; suara pedagang yang saling bersahutan; candaan sekelompok kawan dalam perjalanan pulang; alunan adzan yang berkumandang; hingga lantunan dzikir dalam lirih setiap lisan pun turut menyeruak dan memecah keheningan dalam hati setiap orang. Meski sesekali terlihat lengang, namun sebenarnya tak pernah luput dari ingar bingar.

Dan aku pun masih merindukan suara gerobak dorong bersama dentuman piringnya yang saling bercengkrama mengusik hening malam. Ayunan langkah kaki yang menyusul di belakangnya terdengar kian melamban seiring jalan. Pikirku, seperti inikah kehidupan malam di sebuah gang yang terhimpit dinding-dinding persinggahan? Langit gelap yang semestinya membuat kedua mata terlelap justru ditebus dengan langkah kaki yang mulai berat di pekatnya malam –ketika angka dua hampir tersentuh oleh jarum pendek jam. Selarut inikah mereka kembali ke peraduan?

Aku begitu merindukan segala peristiwa yang pernah menjadi bagian dalam episode kehidupanku di sebuah sudut kota. Meskipun kini telah menjelma kenangan yang mengendap indah dalam ingatan, namun setiap perasaan yang ditimbulkan oleh hening dan bisingnya, hawa panas dan teduhnya, udara hangat dan dinginnya, langit biru dan kelabunya, dini hari hingga larutnya, telah membuatku bergelut dengan rasa rindu yang berkepanjangan.

Rasa Penat yang Terkerat

Menempuh penatnya perjalanan pulang di waktu petang seringkali mendatangkan rasa keharuan. Sebab pada kesempatan seperti itu, aku semakin tau betapa banyaknya wajah-wajah lelah yang sedang berlalu lalang dalam perjalanan kembali ke tempat persinggahan. Tak jarang ku menerka: tadi, sepagi apa mereka bergegas? Apakah sepertiku yang seringkali bergelut dengan gelapnya kabut? Atau, saat mentari telah membuat bulir-bulirnya menyurut?

Di sepanjang jalan menuju pulang, terkadang justru ku temukan seorang anak yang menjinjing tas penuh gorengan di persimpangan, berusaha menawarkan pada siapapun yang melintas di sekitar. Atau barangkali di sudut tikungan jalan, tampak penjual baso tusuk yang baru saja datang untuk menjemput rizkinya di bawah naungan langit malam. Berkali-kali juga sempat ku jumpai penjual buah potong yang sedang memakan sisa dagangannya di bahu jalan –yang bahkan terkadang gerobaknya masih cukup penuh dengan yang utuh. Dan tak jarang ku dapati penjual batagor dengan langkah ringannya mendorong gerobak di tengah hujan.

Semuanya kembali menyadarkan –juga semakin mengingatkan, betapa rasa lelah menghampiri setiap orang, betapa rasa penat tak hanya ku rasakan sendirian. Di antara orang-orang yang ku temui, pasti ada yang jauh lebih jenuh, namun tak pernah mengeluh, dan mungkin mereka jauh lebih penat, namun tetap semangat. Lalu, hatiku pun menghangat. Betapa sederhananya cara Allaah membuat rasa penat ini terkerat, lewat mereka yang hari-harinya pun tak kalah berat.

Ingin ku sampaikan terima kasih kepada anak kecil penjual gorengan di persimpangan, kepada bapak penjual baso tusuk di sudut tikungan, kepada bapak penjual buah potong di bahu jalan, hingga mamang penjual batagor yang selalu melangkahkan kakinya dengan ringan –yang tanpa mereka sadari telah menjadi pengingat bagiku untuk bersyukur lebih dalam.

Gambar hanya pemanis

by A Patsanan KS Chai on Pexels.com