Kategori: Self Reminder

Rancu

Di sepanjang perjalanan hidup ini, mungkin ada banyak hal yang selalu kita harapkan namun tak bisa dimiliki, yang pernah kita minta untuk kembali namun lebih memilih pergi, yang masih kita rindukan namun tak kunjung datang, yang tetap saja kita inginkan meski tak bisa didapatkan. Lalu, kita kembali merasa terperangkap dalam ketidakbahagiaan karena sulitnya mengikhlaskan segala hal yang kita inginkan namun tak tergapai dalam genggaman.

Kalau kita mau mengingat-ingat lagi, sebenarnya jalan keluar atas terperangkapnya diri kita dalam kontradiksi ini sederhana sekali: mempertemukan rasa ikhlas dengan hati. Selesai. Tetapi, sebagaimana yang sudah kita ketahui, sebagaimana yang sebelum-sebelumnya pernah kita alami, jalan ini memang cukup sulit untuk dilalui. Ketidakselarasan antara kehendak dengan keadaan yang terjadi seolah menjadi jalur yang begitu terjal untuk dilewati karena kita terlanjur kehabisan daya dan tenaga yang disebabkan oleh rancunya perasaan dalam diri.

Bagaimana jika kita berhenti sejenak dan mencari tempat singgah sementara untuk mencerna segala peristiwa dengan sedetail-detailnya? Di saat kita mengambil jeda untuk benar-benar mau membuka mata untuk menelusuri kembali setiap jengkal nikmat yang Allaah berikan dan bersyukur atasnya, maka insyaa Allaah kita akan menyadari betapa Maha Adilnya Ia. Barangkali kita pun baru akan menyadari bahwa justru diri kitalah yang seringkali bersikap sebaliknya. Di saat Allaah telah memenuhkan segala kebutuhan kita, namun kitalah yang seringkali luput untuk mensyukurinya.

Adilkah?

Semoga, setiap terjalnya perjalanan ini bukan menjadi titik dari keputusasaan, namun menjadi bagian dari proses pendewasaan dan kebijaksanaan.

Photo by Syed Hasan Mehdi on Pexels.com

Ironi [2]

Akhir-akhir ini, aku semakin sering mendengar orang-orang berkata bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak hal yang membuatnya merana, ada berbagai macam peristiwa yang menyebabkan lara di masanya yang semakin renta. Namun, tidakkah sebaiknya kita melihat terlebih dahulu ke dalam masing-masing diri kita? Apakah kita dalam keadaan baik-baik saja? Jika iya, maka bukankah dunia pun akan demikian adanya?

Rasa Penat yang Terkerat

Menempuh penatnya perjalanan pulang di waktu petang, seringkali mendatangkan rasa keharuan. Sebab pada kesempatan seperti itu, aku semakin tau, betapa banyaknya wajah-wajah lelah yang sedang berlalu lalang dalam perjalanan kembali ke tempat persinggahan. Tak jarang ku menerka: tadi, sepagi apa mereka bergegas? Apakah sepertiku yang seringkali bergelut dengan gelapnya kabut? Atau, saat mentari telah membuat bulir-bulirnya menyurut?

Di sepanjang jalan menuju pulang, terkadang justru ku temukan seorang anak yang menjinjing tas penuh gorengan di persimpangan, berusaha menawarkan pada siapapun yang melintas di sekitar. Atau barangkali di sudut tikungan jalan, tampak penjual baso tusuk yang baru saja datang untuk menjemput rizkinya di bawah naungan langit malam. Berkali-kali juga sempat ku jumpai penjual buah potong yang sedang memakan sisa dagangannya di bahu jalan –yang bahkan terkadang gerobaknya masih cukup penuh dengan yang utuh. Dan tak jarang ku dapati penjual batagor dengan langkah ringannya mendorong gerobak di tengah hujan.

Semuanya kembali menyadarkan –juga semakin mengingatkan, betapa rasa lelah menghampiri setiap orang, betapa rasa penat tak hanya ku rasakan sendirian. Di antara orang-orang yang ku temui, pasti ada yang jauh lebih jenuh, namun tak pernah mengeluh, dan mungkin mereka jauh lebih penat, namun tetap semangat. Lalu, hatiku pun menghangat. Betapa sederhananya cara Allaah membuat rasa penat ini terkerat, lewat mereka yang hari-harinya pun tak kalah berat.

Ingin ku sampaikan terima kasih kepada anak kecil penjual gorengan di persimpangan, kepada bapak penjual baso tusuk di sudut tikungan, kepada bapak penjual buah potong di bahu jalan, hingga mamang penjual batagor yang selalu melangkahkan kakinya dengan ringan –yang tanpa mereka sadari telah menjadi pengingat bagiku untuk bersyukur lebih dalam.

Gambar hanya pemanis

by A Patsanan KS Chai on Pexels.com

Maukah?

Entah itu pertemuan maupun perpisahan, dalam keduanya, pasti akan selalu terselip makna indah penuh kebaikan. Untuk memberi atau mendapatkan; untuk belajar maupun mengajarkan; untuk direlakan dan mengikhlaskan, yang seluruhnya akan menjadi bagian teramat berharga dalam proses pendewasaan.

Apa yang akan dan telah Ia tetapkan, memang selalu tak terduga. Suguhannya berupa-rupa peristiwa yang tak terjangkau oleh logika. Ku rasa, itulah salah satu hal yang membuatNya begitu mengagumkan dan tak perlu lagi diragukan. Namun pertanyaannya, pada setiap baik buruknya suatu peristiwa, maukah kita memetik hikmah untuk kemudian merenungkan segenggam makna yang ada di dalamnya?

Rasa Benci yang Membebani

Seseorang yang memendam kebencian di dalam hati, pasti sudah cukup terbebani dengan perasaannya sendiri. Jadi, tak perlulah kita menambah beban di hatinya dengan balas membenci. Sementara ia sejenak berkutat dalam kegelisahannya, kita pun berkutat dengan bait doa, semoga Allaah Yang Maha Membolak-balikkan hati segera menjauhkan segala prasangka buruk dari dalam kalbunya.

Photo by Pok Rie on Pexels.com

Lapang

Memaafkan itu bukan perkara siapa yang benar, dan meminta maaf pun bukanlah perkara siapa yang salah, sebab yang mampu melakukan keduanya –baik memaafkan maupun meminta maaf, adalah ia yang hatinya paling lapang.