Kategori: Random

Angin

Di penghujung musim ini, kulihat kembali ranting-ranting kering pepohonan patah. Hangatnya sentuhan angin yang dinantikannya kini justru meluluhlantakkan segala kisah. Merapuhkan setiap bilah, menenggelamkannya dalam gelagah rindu yang kian terbantah sejak beradunya ia dengan hamparan tanah.

Kurasa segalanya pun mulai berubah. Langit biru yang membentangkan senyuman cerah, turut gundah. Bunga-bunga indah semula merekah, namun satu persatu kelopaknya terjarah oleh gelisah. Tanah semakin basah oleh rintik embun yang dijatuhkan ranting-ranting gundah. Daun-daun tampak kian lelah, bertahan pada setiap dahan dengan susah payah. Seluruh karsa yang semula begitu indah, kini menjelma resah tanpa kesah.

Lihatlah, bahkan semesta pun seakan turut berkilah. Seolah, kerinduan pada desir angin yang disimpan dalam setiap ujung galah pepohonan itu adalah sesuatu yang salah, hingga membuat jumpa yang didamba oleh tiap dahannya pun tak menemukan arah. Justru kini terpecah bagai serpihan noktah, tak terbalas dengan indah.

Dan akhirnya, dedaunan yang mulanya masih mencoba untuk bertahan pada setiap bahu pepohonan, kini mulai beterbangan. Lembar demi lembarnya benar-benar terlepas dari rangkaian dahan, meninggalkan kenangan. Penasaran, kutanyakan pada serumpun helainya, mengapa mereka saling berjatuhan ketika musim yang dinantikan hampir datang?

Sejenak tak ada jawaban. Lantas hanya tercium aroma keheningan yang mencipta seutas kehampaan. Namun sejurus kemudian, satu diantaranya pun berucap dengan tenang,

“Bukankah dirimulah yang menerbangkanku dari ranting pepohonan?”

Aku pun terdiam.

Benarkah?

Kemudian, kusadari bahwa diriku tengah berhembus perlahan.

10 Juni 2022

Photo by Nubia Navarro on Pexels.com

Pertalian Musim

Kurasa sudah cukup lama hujan tak berkunjung ke sini. Kabarnya, pada masa ini ia enggan berjatuhan di bawah terik matahari, sebab dirinya begitu mengerti kapan waktu yang paling tepat untuk menampakkan diri maupun bersembunyi. Kali ini, dibiarkannya mentari mengambil alih perhatian dari setiap sudut bumi ‘tuk menyinari bunganya hingga sore hari, tanpa diburu oleh pertalian musim yang silih berganti. Masing-masing menghargai setiap ruang yang dimiliki. Sepenuhnya menyadari bahwa ada masa bagi diri mereka untuk memulai, begitupun untuk usai. Meski tak dapat saling menjumpai, mereka layaknya kawan yang saling melengkapi. Menyempurnakan kisah dengan cara hadir pada tempat dan waktunya sendiri-sendiri. Silih berganti… Datang dan pergi… Tanpa menyelisihi…

9 Juli 2020

Photo by Jack Redgate on Pexels.com

Disurati Embun Pagi

Hai, selamat pagi.
Kudengar dari bisik lembayung di luar jendela kamarmu semalam, tidurmu tak begitu nyaman, mimpi indahmu terusik oleh carut-marutnya benang yang terpilin tak karuan dalam pikiran. Mereka juga bilang, kemarin kau tutup rapat ruanganmu seharian. Mendengar hal itu, aku pun merasa tak tenang, ingin segera menjumpaimu saat fajar menjelang. Namun hingga pagi datang, kau masih terdiam. Kuharap dirimu lekas merasa baikan, kemudian membuka tirai pelan-pelan agar dapat kembali menyaksikan indahnya matahari pagi yang memeluk bunga-bunganya dengan penuh kehangatan.

Sebenarnya hal yang sama pun ingin sekali kulakukan, memberi sebuah pelukan agar hatimu lebih tenang. Namun aku terlalu dingin dalam menawarkan kehangatan, sehingga kuputuskan saja untuk menyampaikan sebuah tulisan di pekatnya kabut yang membuat kaca jendelamu buram. Semoga saat kau terbangun, ia belum memudar.

(lebih…)

Ironi

Kapan hari kulihat serumpun bunga bermekaran di atas tandusnya tanah gersang. Lain waktu kutemukan sebatang tanaman layu di bawah teduhnya rintik hujan.” Seringkali hidup memang seperti ini, penuh dengan ironi. Ada yang tumbuh di saat sekitarnya sedang rapuh, ada yang mati di kala sekelilingnya tengah bersemi.

Ada yang tetap pergi, meski tak diingini.