Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Teringat seseorang, tepatnya. Darinya aku belajar banyak hal. Tentang bagaimana bersyukur terhadap apa yang telah Allah cukupkan, bagaimana untuk tidak mengkhawatirkan segala hal yang telah Allah jamin dan tetapkan, hingga bagaimana memaknai keikhlasan –dengan melupakan kebaikan terhadap orang lain, dan selalu mengingat kebaikan yang orang lain lakukan, sekecil apapun kebaikan itu.
Pernah, di suatu ashar selepas melaksanakan shalat, aku melihatnya masih duduk pada shaff depan ketika jamaah lain mulai pergi satu persatu. Ternyata waktu bersama Allah telah menenggelamkannya pada kedamaian doa-doa yang ia panjatkan. Kutunggu sudahnya, cukup lama ternyata. Jika tampak, mungkin malaikat-malaikat turut duduk di kiri kanannya, mengaamiinkan. Entah apa yang membuatnya begitu senang menghabiskan waktu bersamaNya. Diam-diam, kulihat diriku. Sudahkah aku sepertinya, menikmati waktu-waktu indah bersama Allah meski bukan di tengah heningnya malam? Pernahkah? Seketika, aku sungguh malu.
Aku melihatnya beranjak sambil mengusap wajah. “Kenapa?”
Dia bilang, “Setiap berdoa, tanpa sadar aku menangis begitu saja. Aku itu… terlalu banyak meminta. Tapi memang hanya Allah, kan? Kepada siapa lagi aku meminta kalau bukan kepadaNya?” Hatiku ngilu. Betapa jahiliyahnya aku yang masih sangat jarang mambangun keikhlasan sebagai pondasi setiap doa. Betapa seringnya kusertakan paksa pada di atas segala pinta. Aku pun sadar, diri yang terlalu hina ini ternyata sudah terlalu dzalim kepadaNya.
Peristiwa kala ashar itu memang telah lama berlalu. Namun, kalimat sederhana sarat makna yang diucapkannya dulu, sampai saat ini masih mampu menjadi pengingat kala diri mulai lupa dengan kedudukannya. Bahwa manusia, sesungguhnya tak memiliki apa-apa di dunia. Semua hanyalah titipan Allah, tak selayaknya menyombongkan diri atas segala hal yang bukan miliknya…
Dia itu, kawan yang sederhana. Penampilannya sederhana. Cara berpikirnya sederhana. Bahagianya karena hal-hal yang sederhana. Mengajarkan banyak hal melalui peristiwa-peristiwa sederhana. Segala tentangnya benar-benar ada pada sebuah kata: sederhana.
Pada suatu siang yang cerah di awal tahun 2015, dia pun pergi dengan cara yang sederhana. Sampai saat ini, mengingatnya masih saja menimbulkan luka yang sama seperti ketika pertama kali mengetahui kepergiannya. Menyesakkan. Mengingatnya, selalu membangunkan kembali rasa rindu.
Tahun lalu, aku bersama beberapa teman mengunjungi tempat istirahatnya untuk kali kedua. Gundukan tanahnya sudah tak setinggi dulu, namun rasanya masih terlihat baru. Seketika aku tergugu. “Bagaimana jika yang ada di dalam sana adalah aku?”
“Jarak terpendek kita hanyalah sepanjang 1,5 meter dari permukaan tanah. Dan jarak terjauh kita berada pada sebuah kata kematian. Hanya ada satu hal yang bisa dilakukan untuk membuat jarak kita tetap dekat: doa.”