Kategori: Catatan

Perspektif

Processed with VSCO with g3 preset

Entah mengapa, kita terbiasa melihat sebuah peristiwa hanya dari sudut pandang kita saja, misalnya ketika kita terus mengejar sesuatu tanpa mengetahui sedang dikejar, terlalu fokus melihat hingga tak sempat merasa sedang dilihat, terlalu sibuk mengharapkan hingga tak menyadari bahwa kita sedang diharapkan. Begitu seterusnya, berulang-ulang, karena kita cenderung melihat segala sesuatu hanya dari satu sudut, yaitu sudut pandang kita.

Satu sudut yang dapat menimbulkan berbagai fenomena ketika diaplikasikan dalam diri manusia, misalnya ketika kita sedang membenci tanpa sadar sedang dibenci, ketika kita fokus melihat kesalahan orang lain tanpa sempat merasa bahwa kitapun sedang dilihat kesalahannya, apalagi ketika kita terus mengejar dunia padahal dalam waktu bersamaan kita juga sedang dikejar kematian. Ini hanya permisalan saja. Tetapi, ya memang selalu seperti itu, karena setiap hal yang kita lakukan merupakan kata kerja yang terbingkai dalam sebuah sudut pandang.

(lebih…)

A Journey to Find the Deen of Islam

“Jangan merasa Allah membutuhkan kita untuk hijrah. Kita mengaji atau tidak, tidak ada pengaruhnya untuk Allah. Kita hanya satu dari 7 miliar manusia. Kalau kita tidak menngaji dan tidak hijrah, masih ada 6.999 miliar ummat lainnya. Kita yang butuh Allah, jadi teruslah berusaha dan mengejarNya. Islam bukan sekedar syahadat, sholat, puasa, zakat, haji. Lebih dari itu,  kita harus terus meng-upgrade tsaqofah islamiyah kita.” –Kak Yasmin, 2018.

Source: pinterest by haf Tima
Source: Pinterest by haf Tima

Tulisan ini merupakan sebuah kisah yang dibagikan oleh seorang mualaf bernama Kak Yasmin, yang dari kecil hidup dalam lingkungan keluarga katholik dan sangat asing dengan agama islam. Di usia 6 tahun, keluarganya pindah dari Semarang ke Tangerang, mengikuti berpindahnya tempat kerja sang ayah. Ketika memasuki lingkungan sekolah, barulah beliau mengetahui agama islam, hingga ketika memasuki SMP umum beliau memiliki banyak teman muslim. Dari sanalah beliau mulai memperhatikan keseharian teman-temannya yang melakukan sholat sebanyak 5 kali sehari, mengaji, termasuk berwudhu setiap akan menjalankan ibadah. Beliau sempat bertanya-tanya tentang seringnya umat islam beribadah setiap harinya, sedangkan beliau sendiri –yang pada saat itu beragama katholik, untuk melaksanakan ibadah satu atau dua kali seminggu saja masih merasakan kemalasan luar biasa. Dari pengalaman itu, mulai muncul rasa keingintahuan beliau terhadap islam. Namun belum begitu banyak informasi yang beliau dapatkan dari teman-temannya.
(lebih…)

Siapa yang Pertama Kali Kita Cari?

Pesan dari Kak Jemi dua minggu yang lalu:

“Ketika dihadapkan dengan suatu masalah, segera berlarilah kepada Allah. Jangan biarkan Dia cemburu karena bukan Dia yang pertama kali dituju. Lalu setelahnya, Dia akan mendatangkan perantara untuk membantu menyelesaikan atau mungkin mengirimkan teman untuk kembali menguatkan. Tapi, terlepas dari siapapun yang datang kepadamu, tetap jangan pernah menggantungkan harapan apapun kepada selain Allah. Peran mereka hanyalah sebagai perantara yang Allah pilih. Sedangkan yang berkuasa menyelesaikan segala ujian, hanyalah Dia.”

Bandung, 21 Oktober 2018

IMG_20180723_172236

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Teringat seseorang, tepatnya. Darinya aku belajar banyak hal. Tentang bagaimana bersyukur terhadap apa yang telah Allah cukupkan, bagaimana untuk tidak mengkhawatirkan segala hal yang telah Allah jamin dan tetapkan, hingga bagaimana memaknai keikhlasan –dengan melupakan kebaikan terhadap orang lain, dan selalu mengingat kebaikan yang orang lain lakukan, sekecil apapun kebaikan itu.

Pernah, di suatu ashar selepas melaksanakan shalat, aku melihatnya masih duduk pada shaff depan ketika jamaah lain mulai pergi satu persatu. Ternyata waktu bersama Allah telah menenggelamkannya pada kedamaian doa-doa yang ia panjatkan. Kutunggu sudahnya, cukup lama ternyata. Jika tampak, mungkin malaikat-malaikat turut duduk di kiri kanannya, mengaamiinkan. Entah apa yang membuatnya begitu senang menghabiskan waktu bersamaNya. Diam-diam, kulihat diriku. Sudahkah aku sepertinya, menikmati waktu-waktu indah bersama Allah meski bukan di tengah heningnya malam? Pernahkah? Seketika, aku sungguh malu.

Aku melihatnya beranjak sambil mengusap wajah. “Kenapa?”

Dia bilang, “Setiap berdoa, tanpa sadar aku menangis begitu saja. Aku itu… terlalu banyak meminta. Tapi memang hanya Allah, kan? Kepada siapa lagi aku meminta kalau bukan kepadaNya?” Hatiku ngilu. Betapa jahiliyahnya aku yang masih sangat jarang mambangun keikhlasan sebagai pondasi setiap doa. Betapa seringnya kusertakan paksa pada di atas segala pinta. Aku pun sadar, diri yang terlalu hina ini ternyata sudah terlalu dzalim kepadaNya.

Peristiwa kala ashar itu memang telah lama berlalu. Namun, kalimat sederhana sarat makna yang diucapkannya dulu, sampai saat ini masih mampu menjadi pengingat kala diri mulai lupa dengan kedudukannya. Bahwa manusia, sesungguhnya tak memiliki apa-apa di dunia. Semua hanyalah titipan Allah, tak selayaknya menyombongkan diri atas segala hal yang bukan miliknya…

Dia itu, kawan yang sederhana. Penampilannya sederhana. Cara berpikirnya sederhana. Bahagianya karena hal-hal yang sederhana. Mengajarkan banyak hal melalui peristiwa-peristiwa sederhana. Segala tentangnya benar-benar ada pada sebuah kata: sederhana.

Pada suatu siang yang cerah di awal tahun 2015, dia pun pergi dengan cara yang sederhana. Sampai saat ini, mengingatnya masih saja menimbulkan luka yang sama seperti ketika pertama kali mengetahui kepergiannya. Menyesakkan. Mengingatnya, selalu membangunkan kembali rasa rindu.

Tahun lalu, aku bersama beberapa teman mengunjungi tempat istirahatnya untuk kali kedua. Gundukan tanahnya sudah tak setinggi dulu, namun rasanya masih terlihat baru. Seketika aku tergugu. “Bagaimana jika yang ada di dalam sana adalah aku?”

“Jarak terpendek kita hanyalah sepanjang 1,5 meter dari permukaan tanah. Dan jarak terjauh kita berada pada sebuah kata kematian. Hanya ada satu hal yang bisa dilakukan untuk membuat jarak kita tetap dekat: doa.”

Tentang Sebuah Perubahan

Myguide (7).png

Menjadi seseorang yang berbeda dari diri kita sebelumnya itu ‘gampang gampang susah‘. Gampang, jika kita tidak terlalu mempedulikan penilaian orang lain. Lagipula, penilaian mereka terhadap diri kita sedikitpun tidak akan mengurangi nilai kita di mata Allah. Apalagi jika kita bisa memanfaatkannya untuk lebih memperbaiki diri. Apa saja yang tidak baik dari diri kita? Kira-kira apakah keburukan itu akan membuat orang lain merasa terganggu? Bagaimana agar hati dapat menerima segala cacian dengan lapang? Dan masih banyak hal lain yang harus diperbaiki dalam proses menuju kebaikan. Tujuan kita berubah bukan hanya mencari kenyamanan untuk diri sendiri, tetapi yang paling utama adalah mencari ridha Allah SWT.

Memang butuh perjuangan, terutama melapangkan hati. Menerima segala sindiran secara langsung dan tidak langsung, verbal maupun non verbal, tersirat ataupun tersurat, baik di dunia nyata maupun dunia maya, memang susah. Tapi, kembali lagi pada tujuan kita: untuk siapa perubahan yang kita lakukan?

Menjadi seseorang yang lebih baik di mata Allah itu sangat tidak salah. Pertahankan jika perubahan itu adalah sebuah prinsip, meskipun banyak yang harus kita tinggalkan maupun meninggalkan kita. Jika kita ikhlas kehilangan sesuatu, Allah pasti akan menggantinya dengan hal lain yang jauh lebih baik. Insyaa Allah.

Perubahan memang selalu seperti itu, diterima dengan mudah atau harus dengan perjuangan. Tapi apapun respon orang-orang di sekitarmu, pertahankan perubahanmu jika itu memang baik. Sebenarnya mereka hanya membutuhkan waktu untuk menerima ke-tidak biasa-an keadaan. Dan kita hanya perlu istiqomah.

Allahu a’lam bishawab.