Kategori: Catatan

Memerangi Diri

Aku tau besarnya perjuangan yang kau lakukan setiap hari untuk mengalahkan kesulitan-kesulitan yang kau alami, dan aku mengerti bagaimana hatimu selalu mengandalkan-Nya dalam setiap urusan yang kau miliki. Meskipun sesekali merasa kebingungan, meskipun seringkali terusik oleh kebimbangan, tetapi lihatlah kembali bagaimana Allaah selalu menunjukkan kepadamu jalan untuk menuntaskan amanah yang harus dikerjakan. Walaupun selepasnya tak ada jaminan bahwa upayamu akan melahirkan hasil yang sesuai dengan keinginan, namun bagimu tak ada alasan untuk tidak berjuang.

Bukan hal mudah memang, untuk selalu berprasangka baik terhadap-Nya ketika ternyata hasil yang didapatkan tak sejalan dengan harapan. Terkadang kekecewaan tak bisa lagi terhindarkan, bahkan mungkin hingga berujung pada kemarahan, bermuara dalam kekecewaan. Namun lihatlah sekali lagi, bagaimana dirimu selalu berjuang untuk mengembalikan hatimu dalam genggaman-Nya, mengembalikan rasa percayamu kepada-Nya, membangun lagi prasangka baik terhadap-Nya, dan kembali menaruh harapan dalam kuasa-Nya. Ini sama sekali bukan hal yang mudah dilakukan saat melemahnya iman. Maka, bersyukurlah ketika Ia masih menyematkan keyakinan itu dalam relung hatimu.

Aku percaya, Dia membuatmu kehilangan harapan agar lebih bersyukur atas nikmat yang kau miliki, membuatmu kecewa agar tidak terus menerus hanya berpuas diri, membuatmu bersedih agar menghargai hari-hari bahagia yang kau lewati, membuatmu marah untuk mengajarkan lagi makna kesabaran di dalam hati. Dia tak akan membiarkanmu tersesat dalam sebuah ilusi kegagalan dalam diri, namun akan membuatmu tumbuh menjadi pribadi yang lebih menghargai setiap proses yang dilalui.

Insyaa Allaah.

Terkenang

Aku masih saja merindui dinginnya udara fajar yang menyelisik di setiap sudut gang kecil itu, yang dengan perlahan merasuk ke dalam rongga dadaku, menghidupkan kembali ruh yang sejenak terlelap dari tubuh. Sesekali diiringi oleh gerimis yang menyenandungkan rintik-rintik teduh hingga menciptakan atmosfer yang begitu damai di penghujung subuh.

Aku masih merindukan suasana pagi yang seringkali membanggakan diri dengan aroma kabut. Namun hawa sejuknya tak dapat lagi membujuk tubuh ini untuk kembali bernaung di balik selimut, sebab harumnya nasi uduk di warung tenda depan gang lebih menggoda untuk dipinang sebagai pengganjal perut. Apalagi, kepulan uap dari bungkusan kecilnya itu kembali menghangatkan telapak tangan yang berkerut.

Aku merindukan suasana sepanjang jalan yang penuh dengan orang-orang berlalu lalang –yang terkadang sampai menimbulkan kemacetan. Bunyi klakson kendaraan yang bersimpangan; suara pedagang yang saling bersahutan; candaan sekelompok kawan dalam perjalanan pulang; alunan adzan yang berkumandang; hingga lantunan dzikir dalam lirih setiap lisan pun turut menyeruak dan memecah keheningan dalam hati setiap orang. Meski sesekali terlihat lengang, namun sebenarnya tak pernah luput dari ingar bingar.

Dan aku pun masih merindukan suara gerobak dorong bersama dentuman piringnya yang saling bercengkrama mengusik hening malam. Ayunan langkah kaki yang menyusul di belakangnya terdengar kian melamban seiring jalan. Pikirku, seperti inikah kehidupan malam di sebuah gang yang terhimpit dinding-dinding persinggahan? Langit gelap yang biasanya membuat kedua mata terlelap justru ditebus dengan langkah kaki yang mulai berat di pekatnya malam –ketika angka dua hampir tersentuh oleh jarum pendek jam. Selarut inikah mereka kembali ke peraduan?

Kini, momen-momen itu telah menjelma kenangan yang mengendap indah dalam ingatan. Namun setiap perasaan yang ditimbulkan oleh hening dan bisingnya, hawa panas dan teduhnya, udara hangat dan dinginnya, langit biru dan kelabunya, dini hari hingga larutnya, telah membuatku bergelut dengan rasa rindu yang berkepanjangan.

Tampak

Diam-diam, sering ku bubuhkan kebahagiaan; ku sematkan keharuan; dan ku titipkan kesenangan; pada setiap kata yang ku guratkan. Diam-diam, sering ku selipkan kemarahan; ku sisipkan kekesalan; ku tautkan kekecewaan –hingga kepedihan, dalam bait-bait yang ku suratkan. Inginku membuatnya samar, namun kenyataannya cukup sukar. Sepertinya sulit, memang, sebab tulisan-tulisan di sini seringkali terlahir usai negosiasi yang cukup panjang antara pikiran dan perasaan. Hingga, segalanya pun tercurahkan…

Anotasi Hati

Tidak apa-apa…
Bahkan senja yang keindahannya tak terbantahkan pun terkadang juga muram. Ia tak selalu riang saat menyambut kedatangan malam. Terkadang kelam, menyungging beratnya awan hitam yang tak kunjung hilang hingga petang menjelang. Sesekali gerimis ringan turut menenggelamkan wajah indah yang telah digambarkannya sejak pagi datang, hingga lukisan cakrawala megahnya yang belum tuntas pun harus secepat itu terhapuskan.

Seindah dirinya tak selalu mendatangkan kekaguman, sebab terkadang celah-celah persaingan. Ada siang yang berlama-lama menampakkan diri bersama arakan awan, hingga menerbarkan butiran berlian di birunya lautan untuk mendecakkan kekaguman seluruh alam. Ada malam yang tak mau membiarkannya terlalu lama disanjung oleh banyak orang dan segera datang memperlihatkan bintang gemintang untuk merebut kembali pujian.

Sesekali, coba tataplah goresan rupanya saat ia hampir pergi. Keindahan yang dimilikinya memang terbilang singkat sekali, namun demikian ia sangat tau diri. Meski sekejap di ujung hari ‘tuk melengkapi kehadiran mentari, tetapi, wajah teduhnya sangat dirindui, datangnya seringkali dinanti. Ku rasa telah digenggamnya seuntai keyakinan dalam diri: bahwa atas izin Pemiliknya, ia ‘kan datang lagi esok hari; atas ingin Penciptanya, ia pasti kembali –selama kehadirannya masih diingini.

Jadi, maukah kau belajar (lagi) bersamaku? Belajar darinya yang tetap mau berkawan dengan awan kelabu, meskipun lebih sering membuatnya terbelenggu. Belajar darinya yang selalu tau akan waktu, tentang seberapa lama harus merangkum sendu untuk kembali bercengkerama di sela gurat langit biru, lalu menciptakan lagi semburat warna-warni yang menyenangkan kalbu.

–self comfort.

Photo by Jacub Gomez on Pexels.com

Menentukan Peran

Setiap diri kita, adalah pemeran utama dari sebuah cerita. Namun, ketertarikan berlebih akan kisah orang lain tanpa sadar membuat diri kita mulai abai terhadap kisah yang kita punya. Tak heran jika setelahnya hanya tersisa kerendahan diri ketika alur yang kita lalui terlihat tak semenarik jalan cerita mereka.

Lalu, ketidakpercayaan akan diri sendiri mulai tereduksi, yang pada akhirnya mengerucut pada satu kata: insecurity. Setiap hari, yang kita lakukan hanya menjadi pemerhati, dan merasa bahwa diri kita minim arti.

Latas, bagaimana lagi?

Terkadang, justru kita sendirilah yang memutuskan untuk menjadi figuran. Padahal kita juga bisa melahirkan kisah yang tak kalah mengagumkan.

Barangkali kita bisa memulai kembali kisah itu dengan bersyukur terlebih dahulu (?)

Mengejar

Mengejar, tak selalu tentang mendapatkan. Sebab terkadang di sepanjang perjalanan, justru kita temukan berbagai macam peristiwa yang menyadarkan diri kita akan keharusan untuk melepaskan. Peristiwa yang menjadi alasan terbesar untuk berhenti berjuang. Namun ada kalanya, pilihan terbaik dari sebuah perjuangan memanglah berhenti meskipun kita baru saja menjejakkan langkah kaki.

Semua Butuh Jeda

Barangkali kamu pernah mengalaminya, ketika sekelilingmu tengah tertawa bahagia, namun dalam hatimu justru terasa begitu hampa. Segala hal yang menyuguhkan kegembiraan terasa begitu hambar, sebab carut marutnya emosi dalam dirimu belum memudar.

Meski banyak yang bilang bahwa kebahagiaan itu menular, namun bagaimana lagi jika ternyata tawa yang merekah pada wajah mereka justru belum ingin singgah di wajahmu? Bagaimana jika canda yang mereka gaungkan belum menggema sampai ke dalam hatimu?

Kurasa, tak mengapa.

Berilah dirimu sedikit jeda.

Kamu tak harus memaksa sudut bibirmu menyungging tawa jika memang belum bisa. Kamu tak harus melebur dalam kegembiraan yang mereka bawa. Kamu tak perlu merasa sungkan untuk sejenak menarik diri dari euforia, bukannya mengubur sedih yang kamu rasa dalam atmosfer bahagia jika hanya demi formalitas semata. Daripada terus dipendam, persilakan saja ia mengalir perlahan. Sebab tak hanya kesenangan, kesedihan pun sesekali juga perlu dinikmati sensasinya.

Tak perlu selalu mengekang dirimu yang tengah bersedih, tak perlu memerangi hatimu yang pedih. Penerimaan terhadapnya, sepertinya akan lebih baik, sebab dengan begitu, kamu jadi tau makna pulih yang sesungguhnya. Insyaa Allaah…

Namun, sebagaimana bahagia, sendumu pun sekadarnya saja, ya 🙂

Photo by Daria Shevtsova on Pexels.com