
Di penghujung musim ini, kulihat kembali ranting-ranting kering pepohonan patah. Hangatnya sentuhan angin yang dinantikannya kini justru meluluhlantakkan segala kisah. Merapuhkan setiap bilah, menenggelamkannya dalam gelagah rindu yang kian terbantah sejak beradunya ia dengan hamparan tanah.
Kurasa segalanya pun mulai berubah. Langit biru yang membentangkan senyuman cerah, turut gundah. Bunga-bunga indah semula merekah, namun satu persatu kelopaknya terjarah oleh gelisah. Tanah semakin basah oleh rintik embun yang dijatuhkan ranting-ranting gundah. Daun-daun tampak kian lelah, bertahan pada setiap dahan dengan susah payah. Seluruh karsa yang semula begitu indah, kini menjelma resah tanpa kesah.
Lihatlah, bahkan semesta pun seakan turut berkilah. Seolah, kerinduan pada desir angin yang disimpan dalam setiap ujung galah pepohonan itu adalah sesuatu yang salah, hingga membuat jumpa yang didamba oleh tiap dahannya pun tak menemukan arah. Justru kini terpecah bagai serpihan noktah, tak terbalas dengan indah.
Dan akhirnya, dedaunan yang mulanya masih mencoba untuk bertahan pada setiap bahu pepohonan, kini mulai beterbangan. Lembar demi lembarnya benar-benar terlepas dari rangkaian dahan, meninggalkan kenangan. Penasaran, kutanyakan pada serumpun helainya, mengapa mereka saling berjatuhan ketika musim yang dinantikan hampir datang?
Sejenak tak ada jawaban. Lantas hanya tercium aroma keheningan yang mencipta seutas kehampaan. Namun sejurus kemudian, satu diantaranya pun berucap dengan tenang,
“Bukankah dirimulah yang menerbangkanku dari ranting pepohonan?”
Aku pun terdiam.
Benarkah?
…
Kemudian, kusadari bahwa diriku tengah berhembus perlahan.
10 Juni 2022
Photo by Nubia Navarro on Pexels.com