Sebuah Catatan Tentang Kehilangan

Sejenak kujeda langkahku saat awan tampak mengelabu pada sore yang lalu. Mengistirahatkan laku yang semakin lelah diburu waktu sambil memperhatikan langit biru yang semakin sendu, isyaratkan hujan akan segera datang membelenggu. Sebelum rintik pertama menyapu, kuputuskan untuk berteduh di sebuah kedai tua berdinding kayu dan memilih duduk menyendiri di dekat jendela yang mulai usang berselimut debu. Terpaan angin yang meniupkan percik hujan pada sore itu, diam-diam turut serta membawa arah pikiranku untuk sejenak melakukan perjalanan waktu, kembali mengingat berbagai kenangan masa lalu yang terangkum oleh gurat-gurat rindu.

Kala itu, jauh sebelum waktu mulai tertimbun oleh tingginya tuntutan dalam hidup, kita seringkali menyempatkan diri nikmati dentuman rintik hujan yang begitu merdu. Terkadang sambil menyesap secangkir teh untuk menghangatkan tubuh yang terasa beku. Namun kini, aku bahkan hampir lupa kapan terakhir kali kita sekadar duduk meresapi aroma gerimis yang begitu wangi γƒΌaroma sederhana yang benar-benar kita sukai, sambil bertaruh akankah pelangi benar-benar muncul usai hujan pergi.

Kurasa memang sudah lama sekali, sejak perbincangan kita terjeda begitu lama pada suatu pagi hingga tak sempat tersambung lagi. Sejak aku mulai berkutat begitu lekat dengan berbagai asumsi, dipaksa bergelut dengan ekspektasi-ekspektasi tinggi dan terjerumus dalam kubangan mimpi yang bahkan sebagian besar tak pernah kutulis sendiri. Hingga akhirnya baru kusadari bahwa dirimu tak lagi ada di sini. Kulihat dari cermin yang tergantung pada pintu lemari, rupanya sosokmu telah jauh pergi, perlahan-lahan mengambil langkah untuk undur diri. Sebenarnya, apa yang terjadi? Apakah obrolan kita sudah tak menarik lagi? Ataukah mulai sulit kau kenali wajah yang telah penuh dengan peluh ini?

Lamunku terbangunkan oleh dentingan cangkir di atas nampan yang penuh dengan cairan hitam. Meski kita memang bukan penikmat seduhan biji kopi yang seringkali meninggalkan jejak pahit dan masam dalam kecapan, namun entah sejak kapan, tanganku mulai terbiasa menggoreskan cawang untuknya pada setiap menu yang kupesan. Bahkan, cairan pekat itupun seringkali menghuni cangkir kecil di atas mejaku setiap malam. Padahal rasanya masih sulit bagiku untuk menerima sensasi tajam yang ditinggalkan, namun wangi yang menguar kuat hingga sudut ruangan sedikit banyak membantu lepaskan jerat-jerat yang kian hari terasa kian mengekang. Meski sebenarnya, seduhan itu terpaksa kutelan dengan harap kelopak ini tak lekas terpejam hingga tengah malam. Terlalu banyak yang harus dikejar sebelum fajar.

Kurasa banyak hal aneh yang terjadi selepas kau menghilang. Kedua tangan yang terasa tak lagi ringan, mulut yang lebih senang terkatup hingga membuat kedua sudutnya sulit untuk disimpulkan, juga obsesi terhadap kesendirian yang melahirkan kecenderungan untuk menyudutkan diri dari keramaian. Bahkan kulihat mendung yang semestinya tumpah bersama hujan pun justru lebih sering tertahan hingga mengering di balik awan. Bagiku, walaupun tak lebih hebat dari siapapun, sepertinya hidup bersama dirimu yang dulu justru menjadi tempat ternyaman yang pernah kurasakan.

Aku tau, kita adalah rencana-Nya. Hadir dan tidakmu pun merupakan bagian dari rencana-Nya. Namun, jauh di dalam diriku masih tertinggal sebuah harapan, bahwa tiadamu bukanlah sebuah pergi tanpa adanya kembali.


Kuteruskan perjalanan usai hujan di luar berpamitan pulang. Namun di depan kedai yang ku tinggalkan, langkahku kembali terhenti oleh percikan air hujan yang tak sengaja kupijak dalam sebuah kubangan. Lalu kutunggu memudarnya gelombang untuk mengamati sosok yang dipantulkan oleh genangan. Setelah cukup lama bertukar pandang, kuajukan sebuah pertanyaan dengan segan, β€œKe manakah dirimu yang dulu menghilang?”

Atau, memang seperti inikah dirimu kini telah berubah?

24 Januari 2021

Tulisan random yang terinspirasi dari sebuah quote dalam buku “Adakah Orang Sepertiku?”

Photo by Sebastian Pociecha on Pexels.com

10 pemikiran pada “Sebuah Catatan Tentang Kehilangan

    1. Halo Kak Adi. Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan-tulisan di sini πŸ™‚
      Permainan diksi semata-mata untuk menyenangkan hati penulisnya sendiri hehe

      Suka

  1. merindukan dirinya yang pernah menjadi tempat ternyaman, mungkin akan memunculkan perasaan sendu dan memunculkan tanya seperti ini, “bukankah dulu kita lebih senang dibandingkan sekarang?”

    tapi, tanpa disadari, bukankah dirinya di masa kini yang cenderung sendu dan sunyi, merupakan perubahan terbaik yang ia miliki?

    meski tidak tampak ceria dan bahagia, kini, rupanya ia tumbuh menjadi seseorang yang lebih bijaksana, lebih pintar mencari hikmah, dan yang paling penting, ia sudah bertahan sampai hari ini 🀍

    Disukai oleh 3 orang

    1. MaasyaaAllah 😍

      Baik di masa lalu, kini, atau nanti, kita memang harus selalu mencintai diri sendiri. Hanya saja, kerinduan akan masa silam yang penuh dengan kenyamanan terkadang tak bisa tertahan…

      Namun payahnya, terkadang diri ini masih sulit membedakan, benarkah ini adalah perubahan atau justru sebuah kehilangan?

      Tapi yang pasti, kita harus selalu bersyukur dan berterima kasih kepada diri sendiri karena mampu bertahan sampai saat ini, apapun kondisi yang telah di lalui…

      Disukai oleh 3 orang

  2. iya, nggak apa-apa kalau kita terkadang merindu masa silam yang penuh dengan kenyamanan. bukankah itu artinya kita betul-betul menerima semua itu dengan perasaan tenang 😍

    dari apa yang aku rasakan sendiri, ketika aku merasa baik-baik saja, happy menjalani hidupku yang sekarang, dan hatiku tenang, itu berarti bukan kehilangan, mbak. aku hanya berubah menjadi sosok baru. insya Allah lebih baik dibanding dulu :’) kalo menurutmu gimana, mbak?

    setuju! πŸ₯° diri kita udah berjuang dari dulu sampai sekarang, mbak. ia memilih untuk tetap berjalan meski ada banyak sekali pilihan untuk menyerah. terima kasih diriku sendiri 🀍

    Disukai oleh 1 orang

    1. Mmm… Ternyata bahagia memang tidak bisa dijadikan sebagai jaminan atas baik atau buruknya kehidupan, entah itu di masa silam; sekarang; maupun masa depan. Selama masih baik-baik saja, mampu melalui segalanya, insyaaAllah itu sudah cukup bagi kita…
      Dan selama kita masih mau bersyukur, insyaaAllah itu salah satu pertanda baiknya hidup kita yaa mbak Shin πŸ™‚ πŸ™‚ πŸ™‚

      Disukai oleh 1 orang

      1. betul mbak latifa 😊 semoga kita menjadi orang bersyukur dengan hal-hal yang cukup dan sederhana ya mbak 🀍 yakin, Allah akan memenuhi segalanya sesuai dengan kebutuhan kita πŸ₯°

        Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar