Aku pernah menuliskanmu dalam sebaris kalimat tanya, namun aku sendiri lah yang harus berusaha menerka jawabannya. Ternyata, tintamu kering usai menoreh kisah lain yang jauh lebih bermakna.
Pernah ku coba menguraikanmu pada sebuah narasi sederhana, namun dalam benakku hanya kau tampakkan dirimu sebagai kata. Hingga tahun berlalu, satu pun tulisan berjudul namamu tak pernah usai ku ramu.
Berulang kali ku eja dirimu dalam penggalan doa, namun yang terdengar oleh semesta hanyalah seutas kalimat biasa. Suatu ketika ku dapatkan sebuah pesan dari rembulan, rupanya dalam pekat malam yang kian temaram, ucapku turut ditelan.
Ku coba untuk menandai hadirmu dalam setiap hitungan hari, namun tak ada jumlah pasti yang kunjung ku temui. Meski berat hati, segera ku akhiri segalanya sebelum usai.
Lantas saat aku membilang sosokmu sebagai angka ganjil, ternyata ruasmu pun telah digenapkan oleh bilangan lain. Memaksa untuk menambahkan 1-ku dalam 2-mu adalah sesuatu yang mustahil.
Ku alihkan pandang, tak lagi ingin memperpanjang harapan dan mempermasalahkan kekecewaan. Sebab akupun paham, bahwa kecewa tak seharusnya dijadikan alasan untuk menjerumuskan diri dalam penyesalan. Sehingga, ku putuskan untuk lebih berdamai dengan keadaan, karena sebagaimana aku yang tak mampu bertanggung jawab atas tumbuhnya perasaan dalam hati seseorang, kamu pun pasti demikian. Setelah ku ambil sebuah keputusan, logika pun mulai berpesan. Katanya, bukan hanya terluka, namun menjadi penyebab sebuah luka juga sama pedihnya.
Perihal keadaan, aku memang tak kunjung paham karena saat itu yang ku pedulikan hanyalah kegigihan. Ku pikir dengan membangun tinggi harapan, maka suatu saat nanti ‘kan ku dapatkan sebuah tempat persinggahan. Ternyata bangunan itu lekas roboh sebab pondasinya tak cukup kokoh. Akhirnya aku harus kembali bekerja sendirian. Namun kali ini demi membangun sebuah jalur panjang untuk ku berjalan, agar jarak di antara kita yang telah lama terbentang, semakin jauh merentang.
Saat ku coba untuk melihat lagi ke belakang, ternyata dirimu masih tampak begitu jelas dari sudut pandang. Meski demikian, kini aku mampu memandangmu sebatas angan βyang telah ku bebaskan dari ingatan, bukan penglihatan…
Β© fotografierende on pexels.com
Maasya Allaah tabarakallaah. Jatuh cinta sama kata-katanya
SukaDisukai oleh 1 orang
Saya pikir sama orangnya π
Terima kasih Teh Mon…
SukaSuka
Waduuuh kalo saya laki-laki kayanya saya jatuh cinta sama orangnya teehh wkwk.
SukaDisukai oleh 1 orang
Sayangnya perempuan yaa. Penonton kecewaa wkwkwk
SukaSuka
Terinspirasi dari kawan yg punya cerita yg relate sama cerita penulis. Okay, saya paham~
SukaDisukai oleh 2 orang
Kok bener sih. Heran. Bukan relate, emang satu cerita. Puas andaa
SukaSuka
Komentar ini telah diedit~
Wkwkwkk
SukaSuka
Biar nggak ngegas2 amat cenah
SukaSuka
Diksinya ciamik, syukaaa
SukaDisukai oleh 1 orang
Ampun suhuuu. Jadi inscure nih π
SukaDisukai oleh 1 orang
Merendah untuk membubung tinggi~
Kebalik siapa yang suhu, siapa yang murid ih π
SukaDisukai oleh 1 orang
Uda nih nggak usah merendah gitu lah π
SukaDisukai oleh 1 orang
Murid ngalah deh π
SukaDisukai oleh 1 orang
Selamat menikmati hari-hari tenang π€
Membebaskan ingatan dari dia yang masih tampak jelas dari sudut pandang, kupikir adalah usaha menakjubkan.
Hanya orang-orang berjiwa besar yang mampu menjernihkan ingatan dan melepaskan π
SukaDisukai oleh 1 orang
π
Selamat! Anda orang pertama yang berhasil membuat saya berpikir keras untuk menanggapi sebuah komentar. Tapi nyatanya tetep buntu π
SukaDisukai oleh 1 orang
hahaha π€£
Semangat mbak latifa π€π
SukaDisukai oleh 1 orang
Semangat juga mbak Shiin ππ
SukaDisukai oleh 1 orang
Mantaaaaap! Prosa yang begitu manis. Kerinduan memang selalu melahirkan kata-kata, cukup dengarkan kerinduan itu dan menjelma lah menjadi nada-nada yang manis seperti ini.
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih mas Andi π
Tapi kadang rindunya nggak bersuara wkwk
SukaSuka
Terima kasih kembali, Mbak Latif…
wah kadang gak bersuara ya… jangan-jangan dibungkam, Upsss…
SukaSuka
Iya sengaja mode silent wkwk
SukaSuka